![](https://cdn.yoo.rs/uploads/156630/photos/1591616463-Pasola-Sumba-1653_1591616463.jpeg)
PASOLA arti dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing. Dalam ritual, pasola merupakan tradisi perang adat di mana dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar seraya melempar melempar kayu kearah lawan. ASOLA berarti dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing. Dalam ritual, pasola merupakan tradisi perang adat di mana dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar seraya melempar melempar kayu kearah lawan.
Berlangsung sekali dalam diskusi yaitu pada permulaan musim tanam, dibahas pada bulan Februari di Kecamatan Lamboya dan bulan Maret di Kecamatan Wanokaka dan Laboya Barat / Gaura. Sama halnya dengan upacara Bijalungu Hiupaana, tanggal pasti perayaan pasola ditentukan oleh para rato berdasarkan perhitungan bulan dan bulan terang serta dengan melihat tanda-tanda alam. Satu bulan sebelum pasola harus dilangsungkan, pantangan di antara yang lain tidak boleh dilangsungkan, bangun rumah dan lain sebagainya.
Upacara Pasola terkait dengan persiapan pengerjaan lahan serta anggapan tentang percikan darah yang memiliki kekuatan magis menyuburkan dan menghidupkan. Anggapan ini, disetujui telah disinggung sebelumnya, ada disetujui dengan konsep kejadian yang oleh Gregory Forth (1983) terkait kehidupan janin dalam komposisi yang memperoleh daya hidup dari darah ibu yang dialirkan melalui tali pusat. Oleh karena itu darah atau sesuatu yang menarik darah dilihat memiliki kekuatan sakti menyuburkan dan menghidupkan. Tragedi Cinta Segi Tiga
MENURUT legenda lokal, pasola merupakan klimaks dari sebuah tragedi cinta segi tiga. Alkisah, berabad-abad di kampung Weiwuang hidup tiga bersaudara: Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri dan Ubu Dula. Ketiganya telah menikah dan si bungsu Ubu Dulla memperistri seorang wanita cantik bernama Rabu Kabba. Suatu hari ketiganya turun ke laut untuk mencari ikan yang memang merupakan mata pencaharian mereka, namun tanpa sepengetahuan para istri dan warga Weiwuang mereka terus berlayar hingga ke Muhu Karera, sebuah negeri yang terkenal makmur untuk mengadu nasib. Hari demi hari terus berlalu.
Sewaktu mereka tak kunjung pulang, warga yang cemas pun mencari kian kemari. Namun sia-sia, ketiganya bak 'hilang tertelan lautan. Warga Weiwuang yakin mereka telah meninggal dan Rabu Kabba pun dilanda kepedihan tak terperi. Tapi di sisi lain, batinnya menolak percaya. Dulla telah menolak dan setiap ada kesempatan ia selalu pergi ke tepi pantai dengan harapan setiap hari kelak akan melihat perahu yang membawa pulang kembali. Akhirnya harapan Rabu kabba terwujud juga. Suatu hari, sebuah kapal benar-benar muncul dari batas cakrawala tetapi yang datang bukan Ubu Dula, melainkan disebut Teda Gaiparona.
Rabu Kabba menjalin persahabatan dengan pemuda asal Kodi itu dan lama kelamaan saling jatuh cinta. Karena adat yang ketat cinta mereka sulit terwujud sepenuhnya ditentukan untuk kawin lari. Bersamaan dengan itu, Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri dan Ubu Dulla tiba-tiba muncul kembali di Weiwuang. Umbu Dulla mendengarkan berita tentang yang telah melarikan diri bersama pria lain. Demi menegakkan kehormatan, dengan ditemani sejumlah warga, Weiwuang Ubu Dulla pergi mencari semua.
Pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil belum melihat Rabu Kabba, Ubu Dulla sadar cintanya tampaknya belum hilang. Ia mengundang Rabu Kabba pulang bersamanya, tetapi Rabu Kabba yang telah disetujui harus ditolak. Hati Ubu Dulla terasa sakit, tapi ditolak balas dendam ia malah merelakan ikut dibawa, asalkan Teda Gaiparona mau menikahi resmi dan membayar belis (mas kawin) seperti yang pernah diberikan Ubu Dulla saat meminang Rabu Kabba.
Demikianlah, belis pun disetujui dan sebagai penghormatan terhadap kebesaran jiwa Ubu Dulla, keluarga Teda gaiparona juga memberikan sebungkus nyale hidup, yaitu cacing laut warna-warni yang kemunculanya merupakan pertanda kemakmuran. Kemakmuran yang harus dicari Ubu Dulla sampai ke Muhu Karera akhirnya harus menikahi begitu ia cintai. Kedua pihak juga mendukung untuk menyelenggarakan Pasola, ritual perang adat menggunakan tombak kayu yang menarik untuk mengenang kejadian itu. Kejadian yang seharusnya tidak selesaikan dengan arif, bisa jadi harus menyelesaikan perang antara keluarga besar yang pastinya akan membutuhkan banyak korban. Darah yang tumpah saat diberikan darah yang sia-sia karena setiap tetesnya dipecaya turut menyumbangkan kesuburan bagi bumi.
Ritual Kronologi
SEPERTI Bijalungu Hiu Paana, penyelenggaraan Pasola didahului oleh ritual yang berhubungan. Lain lokasi dan penyelenggara, lain pula ritualnya. Yang paling lengkap adalah ritual-ritual yang dilaksanakan di wilayah Wanokaka, yang kami ambil sebagai contoh berikut ini:
Purung Laru Loda: Secara keseluruhan harafiah purung laru loda yang berarti batasan tali, dan yang dimaksud pertama kali dilakukan oleh para Rato di kampung-kampung yang bertanggung jawab atas Waigalli, Ubu Bewi, Lahi Pangabang, Prai Goli dan Puli. Purung Laru Lado merupakan pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali dengan jumlah larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat.
Penentuan Waktu Penentuan waktu penyelenggaraan pasola yang dilakukan bertepatan dengan pengaturan purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bulan, yang didukung oleh kemunculan tanda-tanda alam seperti mekarnya bunga katina, babi hutan membuat sarang, pasang surut udara laut dan lain sebagainya. Karena terkait dengan pemunculan nyale sebagai indikator hasil panen yang hanya terjadi sekali, maka pemilihan waktu menjadi sangat vital. Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak. Para Rato sangat berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan muncul pada saat disepakati, dan bagi mereka hal demikian dapat dianggap sebagai kesialan.
Pati Rahi (?) Ini adalah konsep empat hari yang sama seperti pada Bijalungu. Hiu Paana: empat hari yang dikunjungi puncak yang dipenuhi ritual-ritual penting. Di hari pertama, para ratu dari kampung Waigalli (yang dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama) mengadakan perkunjungan ke Waiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri untuk melihat-lihat yang telah dilakukan hari H. Pada hari ini, gunakan tinju tradisional (Pakujil) diselenggarakan di pantai Teitena, yang menurut legenda adalah lokasi tempat terdamparnya Ubu Dulla bersaudara. Hari ketiga merupakan hari yang padat, dimana ritual-ritualnya terus bersambung sampai puncak hari ini. Ritual hari dimulai dengan Palaingu Jara yang berarti kuda, semacam ajang untuk kuda-kuda dan para ksatria yang akan berlaga besok. Malam ini, semua diadakan pada bulan Juni. Bewi untuk melakukan ritual dan pemujaan, antara lain Kajalla, ritual pertanggungjawaban yang disampaikan dalam bentuk pantun tanya jawab oleh kabisu penyelenggara pasola. Ada pula penyembelihan ayam sebagai media untuk meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi saat pasola berlangsung. Dan sekali lagi: kembali bulan, kali ini muncul sempurna sebagai pertanda akhir datangnya Nyale dan Pasola. Acara ditutup sekitar pukul 3 dini hari dengan penabuhan tambur suci sebagai tanda pasola telah disetujui dan ketupat adat sudah bisa dimakan (nganang katupat).
Madidi Nyale: Ritual yang harus dihidupkan kembali, nyale ini berlangsung di pantai Wanokaka pada hari pertama Pati Rahi. Ritual dimulai sesaat sebelum fajar setelah rombongan Rato selesai melakukan ritual di Ubu Bewi dan beriringan menuju pantai untuk mengumpulkan upacara. Para warga dan wisatawan juga ikut berburu nyale, cacing laut warna-warni yang selain sedap dijadikan kudapan juga menjadi indikator hasil panen. Nyale yang banyak dan bersih berarti panen melimpah. Nyale kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti hujan berlebihan. Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang.
Pasola Popularitas Pasola dijual di dua tempat berbeda. Yang pertama di pantai Wanokaka setelah Madidi Nyale. Yang kedua di arena utama Kamaradena mulai pukul 09.00 hingga tiba siang. Pasola adalah pertarungan antara dua kubu, dan memenangkan pertarungan yang layak, pesertanya tidak disetujui. Masing-masing kubu menggunakan pertarungan dan berusaha keras menjatuhkan pihak lawan. Seringkali ada yang terluka bahkan ada yang meninggal, tetapi sportivitas tetap dijunjung tinggi. Ada yang harus dikeluarkan maka dendam tak boleh dikeluarkan dari arena, balas boleh saja tapi tunggu pasola berikutnya. Darah yang tumpah juga dianggap sebagai pertanda positif yang akan dihasilkan.
Akar pasola yang menggantikan jauh dalam masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak mendukung keramaian saja. Pertama ia adalah kultus religius, suatu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan untuk roh-roh leluhur. Kedua, mengatasi legendanya, merupakan bentuk penyelesaian krisis suku melalui 'bellum pacificum ’atau perang damai dalam suatu ritual adat. Ketiga, sebagai perekat jalinan persaudaraan. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kabisu-kabisu yang terlibat langsung. Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung, serta wisatawan diajak bersorak, tertawa dan bergembira bersama, karena berhubungan pasola menjadi terminal pengasuh keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
#traditions
Here are your recommended items...
Here are your milestones...
Choose a gift to support your favorite creator.
Send appreciation in cash choosing your own custom amount to support the creator.
CustomFeature the author on the homepage for a minimum of 1 day.
$15Send a power-up (Heart Magnet, View Magnet, etc.).
Starting from €2Boost the user's post to reach a custom amount of views guaranteed.
Starting from €5Gift a subscription of any plan to the user.
Starting from €5Send cheers to osynkaranu with a custom tip and make their day
More hearts on posts (24 hours)
€22x Stars for 1 hour
€2Reward the user for their content creation by encouraging to make more posts. They receive extra rewards per heart.
€5More views on posts (48 hours)
€10Level up with one level
€10An error has occured. Please contact the Yoors Team.
An error has occurred. Please try again later